https://semarang.times.co.id/
Opini

Menjawab Kegelisahan Jiwa dengan Konsep Saadah

Senin, 01 Desember 2025 - 17:31
Menjawab Kegelisahan Jiwa dengan Konsep Saadah Mamluatur Rahmah, Dosen FUD UIN Raden Mas Said Surakarta dan Mahasiswa Doktoral UIN Walisongo Semarang.

TIMES SEMARANG, SEMARANG – Masyarakat modern saat ini hidup pada pusaran dinamika yang serba cepat, penuh tekanan, dan sarat tuntutan. Di tengah hiruk pikuk kesibukan aktivitas tersebut, manusia justru kesulitan menemukan titik ketenangan pada dirinya sendiri. 

Dari luar, orang kelihatan baik-baik saja berpenampilan rapi, bekerja stabil, aktif bersosialisasi, bahkan eksis, bahagia dan viral di media sosial, namun di balik semuanya itu tersimpan pergulatan mister batin yang tidak sedikit.

Ketidakharmonisan pada diri menjadi fenomena psikologis yang meluas; perasaan cemas tanpa sebab yang jelas, rasa hampa meski bergelimang harta dan fasilitas, hilangnya kebermaknaan hidup, serta kegagalan menjalin relasi yang hangat dengan dirinya. 

Banyak yang merasakan bahwa tubuhnya berjalan ke satu arah, pikirannya ke arah yang berbeda, dan jiwanya tersesat entah dimana. Fenomena semacam ini lebih diperparah oleh tekanan sosial yang kian meningkat. 

Standar kebahagiaan yang dibentuk oleh media memperlihatkan hidup serba sempurna, sehingga manusia selalu merasakan ketidak cukupan. Selain itu, hubungan yang terjalin antarmanusia semakin dangkal dan transaksional, meninggalkan jiwa pada posisi keheningan. Dampaknya banyak yang mengalami stres berkepanjangan, burnout, tidak punya arah hidup, sampai gangguan emosional yang semakin umum ditemukan pada usia produktif.

Pada kondisi ketidakharmonisan semacam itu, tradisi pemikiran Islam sebetulnya sudah jauh menawarkan konsep mendalam tentang kebahagiaan jiwa, yaitu sa‘adah. Konsep ini berbeda dengan konsep kebahagiaan modern yang ikonik dengan kesenangan, hiburan, atau pencapaian. 

Sa‘adah merupakan kebahagiaan yang bersumber dari kedalaman jiwa dan kesempurnaan batin manusia. Para filsuf dan sufi seperti Ibn Miskawayh, Al-Ghazali, dan lainnya melihat bahwa sa‘ādah merupakan bagian dari puncak perjalanan spiritual manusia, yaitu dimana kondisi ketika akal, hati, dan perbuatan berada dalam satu harmoni yang merdu. 

Kebahagiaan seperti itu sangat tidak bergantung pada faktor eksternal, karena lahir dari jiwa yang sudah mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, dan menjalankan hidup dengan kesadaran penuh. 

Jika kebahagiaan modern yang bersifat rapuh dan mudah sirna bergantung situasi, lingkungan, dan validasi sosial maka sa‘adah menawarkan kebahagiaan yang lebih stabil, dan selalu terjaga meskipun seseorang menghadapi tekanan hidup yang berat. Untuk menggapai sa‘ādah tentunya manusia harus melalui perjalanan batin yang tidak sekadar bersifat spiritual, tetapi juga psikologis dan etis. 

Salah satu fondasi yang perlu diperkuat adalah kesadaran diri yang begitu jernih. Kemunculan masalah emosional yang keseringan membuat manusia menjadi gagal dalam memahami apa yang sebetulnya di rasakan. 

Manusia hidup dengan mode autopilot, mengikuti arus tanpa pernah berhenti untuk melihat lebih dalam. Islam, terutama dalam tasawuf mengajarkan kepada manusia untuk mengenal diri merupakan bagian dari proses mengenal Tuhan. 

Dengan begitu seseorang bisa menyadari batas energinya, memahami kebutuhan batin, serta mengidentifikasi luka jiwa yang kadang terabaikan. Kesadaran diri menjadi langkah awal untuk mengembalikan ketidakharmonisan yang terus membayangi kehidupan manusia modern. Setelah menyadari diri, manusia perlu melakukan tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. 

Penyakit hati yang sering muncul seperti iri hati, sombong, marah berlebihan, ambisius pada dunia yang berlebihan, dan ketergantungan pada pujian masyarakat menjadi pemicu munculnya racun batin yang menggerogoti kebahagiaan. Bahkan ketika seseorang memiliki ritual keagamaan yang baik, penyakit hati tetap saja bisa melemahkan ketenangan batinnya jika tidak disadari dan dibersihkan. 

Proses tazkiyah ini tentunya sangat membutuhkan muhasabah, memperbaiki niat, berlatih sabar, melatih akhlak mulia, dan membiasakan diri untuk selalu bersikat rendah hati. Ketika jiwa sudah dibersihkan, gejolak negatif sedikit demi sedikit akan mereda, kemudian akan memberikan ruang bagi kedamaian.

Dimensi penting yang tidak boleh terlewatkan dalam mencapai sa‘ādah adalah spiritualitas yang harus hidup. Banyak orang beribadah secara ritmis, tetapi tidak merasakan energi spiritual yang menghidupkan jiwa. 

Pada tradisi tasawuf, kebahagiaan muncul disaat seseorang merasa dekat dengan Sang Pencipta, ketika doa bukan hanya rangkaian kata, melainkan percakapan batin; ketika zikir bukan sekadar pengulangan lafaz, melainkan getaran hati yang menghadirkan kesadaran akan kehadiran Allah. 

Begitu juga dengan bersyukur menjadi cara untuk memandang hidup, bukan sekadar ucapan lisan. Spiritualitas yang otentik akan membuat manusia merasa aman, tidak sendirian, dan percaya bahwa semua kesulitan hidup ada dalam lindungan takdir yang penuh hikmah.

Sa‘adah bukanlah tujuan yang dicapai dalam semalam. Tapi sebuah perjalanan hidup yang memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kesadaran tanpa henti. Karena disetiap langkah kecil menuju penyucian jiwa akan membawa dampak besar untuk kedamaian batin. 

Di tengah suasana dunia yang penuh kekacauan dan kebisingan, manusia sangat membutuhkan ruang ketenangan dalam dirinya. Sa‘adah hadir sebagai cahaya yang membimbing umat manusia untuk kembali pada dirinya, pada Tuhannya, dan pada hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya. 

Ketika manusia menemukan harmoni yang merdu dan  indah pada jiwanya, tentu manusia akan mampu menjalani hidup menjadi lebih ringan, penuh syukur, dan penuh makna. Sa‘adah bukan sekadar kebahagiaan, ia adalah keselamatan jiwa, kedalaman hati, dan kesempurnaan hidup yang dicari semua manusia.

 

***

*) Oleh : Mamluatur Rahmah, Dosen FUD UIN Raden Mas Said Surakarta dan Mahasiswa Doktoral UIN Walisongo Semarang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Semarang just now

Welcome to TIMES Semarang

TIMES Semarang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.