TIMES SEMARANG, SEMARANG – Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Dr KH Nasrulloh Afandi, Lc, MA, atau akrab disapa Gus Nasrul, memberikan peringatan penting terkait fenomena salah kaprah dalam mengekspresikan cinta kepada Nabi Muhammad SAW di era modern.
Sepulang dari ceramah Maulid Nabi di Masjid Miftahul Huda, Jl. Kawitan, Sidorejo, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Gus Nasrul menegaskan bahwa banyak umat Islam yang keliru dalam memahami makna sejati mencintai Nabi, khususnya di tengah maraknya penggunaan media sosial.
“Di era modern ini, utamanya dengan semakin maraknya medsos, banyak orang yang salah cara mencintai Nabi Muhammad SAW. Contoh kecilnya, dia menulis atau share foto, video tentang cinta Nabi. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, mereka juga upload atau share kemaksiatan, foto mesra dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Itu jelas bertentangan dengan cara mencintai Nabi,” ujar Gus Nasrul di Semarang, Sabtu (20/9/2025).
Pakar maqashid syariah tersebut menekankan bahwa cinta sejati kepada Nabi tidak cukup diwujudkan dengan simbol-simbol belaka. Ia mencontohkan fenomena pemasangan stiker bertuliskan “cinta Nabi” di kendaraan atau di kaca rumah. Menurutnya, hal itu hanya sebatas ekspresi simbolis.
“Cara cinta Nabi di era modern yang benar itu bukan pula dengan menempelkan stiker bertuliskan cinta Nabi di mobil-mobil atau kaca rumah. Yang terpenting ekspresi mencintai Nabi adalah dengan menjalankan semua perintahnya, menjauhi larangannya. Itulah inti sari tertinggi dari mencintai Nabi, sebagaimana dikemukakan ulama besar Sufyan ats-Tsauri,” tutur Gus Nasrul, yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI Pusat.
Kritik pada Fenomena “Bersholawat”
Lebih lanjut, Penceramah lintas Kalangan dari pengasuh Pesantren Balekambang Jepara ini, juga menyoroti fenomena acara “bersholawat” yang belakangan digelar dengan skala besar di lapangan. Ia menilai, banyak kegiatan tersebut yang lebih dominan bernuansa hiburan daripada mencerminkan cinta sejati kepada Nabi.
“Banyak yang berkumpul di lapangan dengan jumlah besar, bernama acara bersholawat, tetapi kalau diamati lebih dominan nilai hiburannya daripada nilai mencintai Nabinya. Dengan fenomena sambil berkibar-kibar bendera, banyak yang hanya berjoget, sibuk bikin konten medsos, berpacaran di pinggir lapangan, dan hal-hal yang kurang patut lainnya. Itu bukti bahwa mereka berbondong-bondong ke lapangan dengan nama bersholawat, tapi mengabaikan inti sari mencintai Nabi,” tegas Gus Nasrul.
Meluruskan Niat dalam Bersholawat
Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri itu juga mengingatkan pentingnya meluruskan niat dalam membaca sholawat. Ia menilai, banyak orang justru menitikberatkan niat bersholawat demi kepentingan duniawi.
“Niat yang benar dalam melantunkan sholawat kepada Nabi adalah pertama, niat ibadah melaksanakan perintah Allah SWT; kedua, niat mengagungkan Nabi Muhammad SAW; ketiga, niat mengharap syafaat Nabi Muhammad SAW di hari akhir. Adapun yang keempat, boleh bertawassul memohon dikabulkan hajatnya dengan sebab membaca sholawat,” jelas Gus Nasrul.
Pesan untuk Generasi Muda dan Orang Tua
Dalam kesempatan berikutnya, saat memberikan pengajian di Masjid Besar Sirajul Muhtadin, Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Gus Nasrul kembali menegaskan pentingnya keikhlasan dalam beribadah. Ia mengutip pandangan sufi besar, Imam Ibnu ‘Athoillah Asy-Syakandari dalam kitab al-Hikam karya fenomenalnya.
“Tidak ada amal yang lebih berpeluang untuk diterima oleh Allah SWT daripada amal yang kau lakukan, dan tidak kau ingat-ingat, serta menganggap sepele semua amal kebaikan yang telah kau lakukan.”
Menurut Gus Nasrul, orang tua juga memiliki peran besar dalam menjaga kualitas ibadah anak. Ia menekankan, bukan hanya keterampilan untuk mencari pekerjaan. Tetapi yang penting, juga pemahaman pokok ibadah.
“Semakin banyak generasi Muslim yang shalat lima waktu saja belum paham. Sungguh banyak sarjana muda Muslim terpelajar, tetapi lemah dalam ilmu fikih ibadahnya,” ujarnya.
Gus Nasrul pun menegaskan, setiap Muslim tidak harus menjadi ustaz atau kiai. Namun, setiap orang wajib memahami ilmu fikih dasar sebagai bekal ibadah.
“Tidak semua orang Islam harus jadi ustaz, tidak harus jadi kiai. Tetapi semuanya wajib menguasai ilmu fikih bekal ibadah, fikih shalat, fikih haid-istihadhah-nifas. Para orang tua jika abai, besok akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |