TIMES SEMARANG, SEMARANG – Kasus dugaan pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang memasuki babak baru. Dua terdakwa yang berasal dari lingkungan Fakultas Kedokteran Undip dituntut hukuman penjara dalam sidang terpisah di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (10/9/2025).
Terdakwa pertama, dokter PPDS Undip, Zara Yupita Azra, dituntut 1 tahun 6 bulan penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Efrita, menyebut Zara terbukti memeras residen junior angkatan 77 dengan total pungutan mencapai Rp1,9 miliar.
Iuran tersebut dibebankan pada sekitar 11 residen dengan alasan berbagai kebutuhan, mulai dari biaya makan prolong Rp235 juta, kudapan Rp197 juta, acara pisah sambut Rp91 juta, joki tugas Rp86 juta, hingga kebutuhan lain Rp46 juta. Dari jumlah itu, sekitar Rp1,2 miliar belum teridentifikasi penggunaannya. Jaksa menegaskan, pemerasan dilakukan pada periode 2022–2023 dengan ancaman dan tekanan psikologis, sehingga para residen tidak punya pilihan selain mematuhi.
Sementara itu, dr Taufik Eko Nugroho, Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip, juga dituntut 3 tahun penjara. JPU Tommy U. Setyawan menyatakan, Taufik menarik pungutan yang disebut biaya operasional pendidikan sejak 2018 hingga 2023 dengan nilai total Rp2,4 miliar.
Setiap residen diwajibkan menyetor sekitar Rp80 juta. Penarikan tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang sah dan menimbulkan kekhawatiran bagi residen, terutama terkait evaluasi akademik maupun risiko dikucilkan. “Perbuatan terdakwa membuat para residen tidak berdaya untuk menolak,” ujar jaksa.
Dalam perkara yang sama, staf administrasi Prodi Anestesiologi, Sri Maryani, turut diadili. Ia dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara karena didakwa bersama-sama dengan Taufik melakukan pemerasan terhadap residen.
Jaksa menilai perbuatan para terdakwa dilakukan secara terstruktur dan masif. Sebagai tenaga pendidik maupun residen senior, mereka dianggap membiarkan praktik penyalahgunaan kekuasaan yang menimbulkan rasa takut, keterpaksaan, dan tekanan psikologis di lingkungan pendidikan.
Atas tuntutan tersebut, Ketua Majelis Hakim Muhammad Djohan Arifin memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |