TIMES SEMARANG, SEMARANG – Dunia digital seperti saat ini, isu-isu viral begitu sangat mudah mencuat melalui konten media yang dibuat dengan gaya kontroversial. Seperti yang sedang ramai diperdebatkan adalah tayangan di stasiun televisi nasional, yang memuat framing pondok pesantren dan kiai sebagai objek hinaan atau guyonan yang tidak bermoral.
Awalnya bisa saja konten tersebut dikemas dengan model hiburan ringan, namun justru memicu kemarahan publik karena dianggap menghina simbol-simbol keagamaan dan pendidikan Islam.
Di dalam mata kuliah akhlak dan tasawuf yang kebetulan saya ampu, mengajarkan bagaimana akhlak dan etika spiritual serta moralitas di dalam Islam. Tema itu tentunya memiliki tujuan untuk memahami dampak yang lebih panjang terhadap masyarakat dan nilai-nilai kebaikan yang perlu dilakukan.
Acara di televisi nasional tersebut memperlihatkan video seorang kiai yang sangat disegani karena ilmunya, dibuat sebagai ilustrasi dengan narasi yang menggambarkan sifat yang sangat tidak pantas, dan pendidikan pondok pesantren diframing dengan model pendidikan yang kuno dan tidak manusiawi.
Konten ini lantas menjadi viral di media sosial, dan dianggap menjadi konten yang menyudutkan dan sebagai bentuk penghinaan terhadap ulama dan institusi pendidikan Islam. Banyak yang menganggap bahwa konten terebut sudah melakukan pelanggaran etika, terutama di tengah sensitivitas umat Islam terhadap isu-isu keagamaan.
Akhlak tasawuf merupakan cabang ilmu etika Islam yang berfokus pada penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pencapaian kebaikan melalui hubungan intim dengan Allah. Prinsip-prinsipnya, sebagaimana diajakarkan sama tokoh tasawuf seperti Imam Al-Ghazali yang menekankan ihsan, tawadhu dan menghindari sifat-sifat buruk seperti hasad, takabbur dan ghibah.
Dari sudut pandang ini, konten yang ditayangkan televisi nasional tersebut yang bisa dikatakan menghina pondok dan kiai jelas sudah melanggar beberapa aspek dari akhlak tasawuf.
Pertama, dari sisi pelanggaran terhadap ihsan dan adab. Ihsan dalam tasawuf sendiri diartikan sebagai berbuat baik kepada sesama, bahkan kepada yang tidak kita kenal dan seolah-olah kita melihat Allah.
Menghina kiai dan pondok pesantren merupakan bentuk pelanggaran adab, karena kiai sendiri dianggap sebagai pewaris Nabi (ahl al-bait) dan pondok pesantren sebagai salah satu tempat pembinaan moral dan akhlak.
Tasawuf tentu mengajarkan bagaimana kita bisa menghormati ulama sebagai sumber keilmuan, bukan dijadikan sebagai bahan guyonan yang mengarah pada ejekan. Konten yang menjadi ramai tersebut justru menjadi ajang promosi sikap takabur, dimana pembuat ide atau konten merasa lebih tinggi dari simbol-simbol keagamaan.
Kedua, dilihat dari sisi ghibah dan fitnah sebagai bentuk penyakit jiwa. Di dalam ajaran tasawuf, melihat ghibah merupakan bentuk penyakit hati yang menghalangi diri untuk melakukan penyucian jiwa. Narasi yang dibuat dengan menyudutkan budaya yang ada pada pesantren dan kiai merupakan bentuk ghibah kolektif, yang merusak harmonisasi secara sosial.
Pada sudut pandang tasawuf, hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan prinsip muraqabah (pengawasan diri), karena seseorang sejatinya harus selalu mengingat bahwa Allah selalu melihat segala bentuk tingkah laku dan perbuatan.
Dampak yang disebabkan dari konten tersebut bukan hanya merendahkan atau menghina secara individu, melainkan sudah merusak ikatan spiritual umat islam.
Ketiga, kurangnya sikap tawadhu dan kesadaran spiritual. Sikap tawadhu merupakan inti dari tasawuf, yang mampu mendorong kerendahan hati seorang hamba dihadapan Allah dan sesama.
Konten tersebut sudah sangat jelas menunjukkan kesombongan dari sang kreator yang menganggap diri lebih modern atau canggih dibanding tradisi pada pendidikan pesantren.
Di dalam tasawuf selalu mengingatkan bahwa kebenaran yanag sejati datang dari Allah, bukan dari ejekan terhadap yang berbeda. Alih-alih ingin membangun masyarakat yang harmonis, justru konten tersebut lebih mengarah dan memperdalam perpecahan antara sistem tradisional dan modern.
Isu yang ramai tersebut mengingatkan kita semua pada Alquran surat al Hujurat ayat 11 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan),” berkenaan dengan ayat tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan lebih lanjut bahwa “Allah melarang umatnya untuk tidak melakukan ucapaan yang mengolok-olok orang lain. Yaitu merendahkan dan menghinakannya. Sebagaimana disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah bersabda bahwa “Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain,” HR. Muslim.
Konseskuensi yang ditimbulkan dari dari konten tersebut tentu saja tidak hanya muncul pada permukaan saja, melainkan menimbulkan pada polarisasi sosial yang lebih dalam pada masyarakat Indonesia. Karena pendidikan pondok pesantren mempunyai peran sentral yang dijadikan pilar pendidikan agama bagi umat muslim.
Konten semacam itu dan sejenisnya sebenarnya hanya akan memperburuk fragmentasi sosial dengan mengontraskan kelompok tradisional (pesantren dan kiai) terhadap modern (media hiburan), sehingga memunculkan reaksi protektif dari komunitas pesantren yang merasa terhina.
Para generasi muda yang sedang atau pernah belajar di sana, harus menjadi agen perubahan positif, jangan sampai terpapar stereotip negatif yang menimbulkan penurunan motivasi untuk menjaga warisan budaya Islam.
Dari perspektif akhlak tasawuf, hal tersebut tentu saja melemahkan ikatan spiritual umat dengan nilai-nilai kebaikan, karena ejekan semacam itu akan menumbuhkan hasad dan permusuhan antar kelompok, yang secara analitis bisa menghalangi pencapaian maqam spiritual seperti ikhlas dan sabar.
Tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Imam Al-Ghazali, menekankan bahwa penyakit hati seperti ini tidak hanya merusak individu, tapi juga masyarakat secara keseluruhan, karena bisa mengarah pada sikap takabbur yang bertentangan dengan sifat tawadhu yang sangat dibutuhkan untuk keharmonisan sosial.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |