TIMES SEMARANG, SEMARANG – Di Indonesia, Maulid Nabi Muhammad SAW selalu dirayakan meriah. Dari kampung kecil sampai kota besar, berbagai acara digelar, mulai dari pengajian, lantunan Barzanji, pawai, hingga pesta rakyat. Tak jarang, perayaan ini dihiasi dengan hidangan melimpah, panggung megah, dan dana yang tidak sedikit.
Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan betapa kuatnya kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad. Di sisi lain, ada ironi yang perlu dikritisi, yaitu perayaan Maulid kerap kali terjebak pada pola konsumtif yang membuat sikap kita jadi jauh dari ajaran Nabi yaitu tentang kesederhanaan.
Pertanyaan penting pun muncul, apakah Maulid sudah benar-benar menjadi momentum spiritual, atau justru berubah jadi ajang konsumsi yang berlebihan?
Beberapa tahun terakhir, perayaan Maulid kerap kali dipenuhi praktik yang sarat konsumsi. Biaya besar digelontorkan untuk dekorasi panggung, sound system, pakaian seragam panitia, bahkan undangan penceramah dari luar daerah dengan honor yang bisa dibilang sangat besar.
Tidak hanya itu, ada juga masyarakat yang rela mencari pinjaman dana hanya untuk kebutuhan menyemarakkan peringatan ini dengan memberikan hidangan cukup mewah.
Dengan melihat kondisi di atas tentu muncul sebuah pertanyaan. Apakah sebenarnya esensi dari Maulid itu harus diwujudkan dengan pengeluaran besar? Padahal, ajaran dari Nabi Muhammad justru mengedepankan sifat kesederhanaan dan kepedulian sosial.
Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa sebaik-baik amal adalah yang sederhana namun tetap konsisten. Makna tersebut diambil dari makna dimana Rasul pernah berpuasa pada hari Senin sebagai bentuk syukur atas kelahirannya, ini menunjukkan bahwa pentingnya konsistensi pada amalan meskipun sederhana.
Spirit tersebut biasa tereduksi dalam perayaan Maulid Nabi yang menekankan kemewahan, padahal inti dari perayaan Maulid adalah menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dan sosial, bukan hanya sekadar kemeriahan.
Melihat kebelakang pada kehidupan Nabi Muhammad, gaya hidupnya sangatlah jauh dari berlebihan. Misalnya makan dan berpakaian dengan sederhana, tidur di atas tikar yang kasar. Dengan cara yang penuh dengan sederhana ini bukanlah sebagai tanda kemiskinan, tetapi ekspresi ketaatan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
Tidak hanya itu saja, Nabi Muhammad selalu mengajarkan agar harta itu tidak berhenti pada konsumsi diri, melainkan harus menjadi sarana saling berbagi. Kepedulian terhadap fakir miskin, sedekah dan keadilan distribusi dari sisi ekonomi menjadi penekanan utama.
Sehingga jika kita merayakan Maulid dengan cara menghamburkan dana besar tanpa memberikan ruang pada kepedulian sosial, bukankah nantinya akan menjauh dari ajaran yang seharusnya diteladani?
Spiritualitas Ekonomi dalam Maulid
Euforia perayaan Maulid Nabi yang besar-besaran sebenarnya bisa kita ambil sisi positifnya untuk memanfaatkan momentum tersebut. Sebagai sarana untuk menghidupkan spiritualitas ekonomi. Artinya adalah kita menempatkan nilai spiritual menjadi dasar dalam mengelola aktivitas ekonomi.
Contohnya dengan cara penggalangan dana yang dikumpulkan tetapi tidak hanya untuk kebutuhan acara seremonial, melainkan bisa diarahkan untuk program yang lebih produktif, misalnya beasiswa untuk anak yatim, pemberdayaan UMKM dan untuk warga miskin yang membutuhkan.
Tentunya dengan melakukan hal yang sederhana ini, peringatan Maulid tidak hanya sekadar menghadirkan kemeriahan sesaat, tapi bisa membawa dampak sosial dan ekonomi lebih panjang.
Inilah yang bisa kita jadikan teladan dari Maulid Nabi ini, menggunakan harta tidak hanya sebagai simbol status atau gengsi sosial, melainkan digunakan untuk kemaslahatan bersama.
Tren konsumerisme yang muncul dalam perayaan Maulid sebenarnya mencerminkan budaya konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi. Pesta yang megah, seragam mahal, sampai tradisi mudik dengan biaya besar, sebenarnya memperlihatkan bahwa kita kerap menjadikan simbol lahiriah itu lebih penting dibandingkan makna substansial.
Jika pola tersebut terus bertahan dan berkembang, Maulid bisa jadi akan kehilangan ruh spiritualnya dan hanya akan menjadi “pesta tahunan” dengan biaya mahal tapi miskin makna.
Alangkah lebih baiknya jika dana besar yang habis pada ruang dekorasi dan konsumsi dipindahkan untuk program yang lebih meneladani Nabi, yaitu pemberdayaan kepada kaum yang lemah, menolong yang miskin, dan memperkuat solidaritas umat Islam?
Tulisan ini memang mengkritik praktik konsumtif yang terjadi pada perayaan Maulid Nabi, tapi jelas tidak ada maksud untuk menolak tradisi tersebut. Melainkan tetap harus menjalani dan mepertahakan, tetapi dengan gaya yang lebih sederhana dan memiliki banyak sisi produktifnya dibandingkan konsumtifnya.
Keramaian boleh ada, namun jangan berlebihan sehingga menghilangkan maknanya. Esensi makna dari Maulid sebenarnya adalah meneladani sifat-sifat Nabi, bukan sekadar meramaikan acara.
Bagi umat islam memankai Maulid ini sangat penting, karena menjadi kesempatan kita untuk membersihkan hati, pikiran dan memperbaiki niat. Bukan persoalan gengsi sosial saja yang dikejar, tapi juga kedekatan kepada Allah dan peduli terhadap sesama.
Sehingga perayaan Maulid mampu menjadi momentum untuk membangun budaya ekonomi yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, sederhana, dan spiritual.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar di FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |