TIMES SEMARANG, SEMARANG – Fenomena masyarakat yang sedang hangat dalam konteks pergulatan ekonomi adalah “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya). Ini merupakan cerminan interaksi sosial-ekonomi pada generasi saat ini.
Dalam teori ekonomi Islam tentunya ini bukanlah hal yang dilarang, karena itu adalah hak konsumen. Namun, Islam pun juga dengan tegas sudah mengingatkan bahwa setiap hak apapun itu harus diiringi dengan etika dan tanggung jawab.
Di era yang serba digital dan budaya konsumerisme masyarakat yang tinggi, muncul berbagai istilah gaul yang menggambarkan perilaku masyarakat kita. Dua di antaranya yang cukup populer adalah “Rojali” dan “Rohana”.
Istilah tersebut ditujukan pada sekumpulan orang yang sering datang ke toko atau pedagang yang hanya menghabiskan waktu untuk melihat-lihat, bertanya detail, mencoba produk, dan mendokumentasikan melalui ponselnya namun pada akhirnya tidak terjadi transaksi jual-beli.
Sekilas, fenomena itu hanya terdengar sebagai candaan biasa. Namun, jika diteliti lebih dalam dari sudut pandang ekonomi Islam, perilaku tersebut masuk beberapa prinsip dasar mengenai etika, hak dan kewajiban dalam berinteraksi ekonomi. Bagaimana ekonomi Islam melihat fenomena?
Perilaku “Rojali” dan “Rohana” yang bermunculan mulai mengkhawatir dan merugikan pihak lain. Dan jika memang hal tersebut sengaja dilakukan tanpa tujuan bertransaksi, maka tentu saja sudah keluar dari jalur dan koridor etika Islam.
Menjadi konsumen yang baik bukan hanya tentang bagaimana memeperoleh barang terbaik, melainkan tentang bagaimana menjaga muamalah yang baik dan memberikan manfaat dan keberkahan untuk semua pihak.
Di dalam ekonomi Islam, hubungan antara penjual dan pembeli harus dibuat atas prinsip, kerelaan, keadilan dan keseimbangan. Islam mengajarkan bahwa transaksi jual beli harus menguntungkan dan harus dengan penuh kejujuran.
Nabi Muhammad SAW, yang juga sebagai pebisnis yang sukses, bersbda bahwa "Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama keduanya belum berpisah" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis tersebut menjadi panduan dalam berbisnis dan ini menandakan pentingnya kesungguhan pada transaksi.
Bagi kelompok “Rojali” ternyata memiliki sisi positif jika memang hal tersebut dilatarbelakangi atas sikap hemat dan kehati-hatian dalam berbelanja. Islam sendiri juga sangat menganjurkan untuk melakukan hidup sederhana dan tidak boros.
Hal ini tentu diperkuat atas dasar QS. Al-A'raf ayat 31, yang artinya "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan." Namun, jika hal tersebut (Rojali) dilakukan secara berlebih-lebiahn sampai mengabiskan waktu penjual dan tanpa ada niatan untuk membeli, maka harus ditinggalkan.
Sementara itu, perilaku “Rohana”, perlu dipertimbangkan etikanya dalam Islam. Benar memang, jika konsumen memiliki hak memperoleh informasi produk yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pentingnya transparansi dalam bermuamalah.
Namun, jika bertanya yang berlebihan dan tidak ada niat untuk membeli, tentu hal tersebut bisa masuk pada kategori menyusahkan penjual, yang tentunya itu dilarang didalam Islam. Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya supaya tidak menjadi orang yang menyusahkan orang lain dalam hal apapun.
Hak Pembeli
Islam sendiri sangat melindungi hak atas pembeli supaya bisa memperoleh informasi yang jelas dalam melakukan transaksi. Sebagai calon pembeli tentu sangat wajar jika bertanya, memeriksa dan memastikan terdahap barang yang akan dibelinya.
Tentu hal tersebut juga sejalan dengan prinsip di dalam ekonomi islam untuk mengindari ketidakpastian (gharar) dalam praktik transaksi jual beli. Karena di dalam islam transaksi yang dilakukan harus didasari atas prinsip kerelaan dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
Dari sudut padang tersebut, aktivitas yang tanya-tanya atau lihat- lihat saja tanpa membeli bukanlah sesuatu yang dilarang atau bahkan masuk dalam kategori haram. Itu merupakan bagian dari proses konsumen untuk mengambil suatu keputusan, jadi membeli atau tidak.
Namun, permasalahannya sekarang yang muncul adalah aktivitas (rojali dan rohana) tersebut dilakukan secara berlebihan, berkelompok, dan disertai niat serius untuk tidak membeli dari awal tanya ataupun nawar.
Di sinilah peran dan fungsi dari prinsip-prinsip etika ekonomi islam dimainkan. Di dalam ekonomi islam tidak hanya membahas tentang halal dan haram saja, melainkan juga tentang kebaikan atau kemanfaatan (maslahah) dan kerugian atau kerusakan (mudarat).
Pada kaidah fikih, permasalahan di atas yang sangat relevan adalah la dharar wa la dhirar, yang artinya tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.
Fenomena rojali dan rohana jika dilakukan secara intens, akan berpotensi menimbulkan mudarat bagi penjual. Seperti apa mundarat yang akan timbeul pada penjual?
Pertama, membuang waktu dan tenaga dari penjual, karena ini adalah adalah sumber daya yang sangat berharga. Ketika penjual fokus melayani rombongan yang tidak ada niatan serius membeli, penjual akan kehilangan kesempatan untuk melayani pelanggan lain yang bisa jadi benar-benar ingin membeli.
Kedua, mengganggu aktivitas bisnis, karena keramaian yang dihasilkan dari aktivitas rojali akan memberikan kesan palsu jika toko sedang sibuk, akhirnya jika ada calon pembeli lain yang ada niat serius membeli akan balik arah dan enggan masuk.
Ketiga, potensi kerusakan barang, karena aktivitas mencoba-coba barang berulang kali, yang tanpa ada niatan untuk membeli bisa menurunkan kualitas dan bisa merusak barang dagangan tersebut.
Di dalam islam, perbuatan atau perilaku tersebut bisa dikategorikan sebagai pemborosan (tabdzir) dalam bentuk menyia-nyiakan waktu dan tenaga orang lain, tentunya itu sangat tidak dianjurlan dalam Islam.
Di dalam ekonomi islam diajarkan tentang konsep ihsan, yaitu aktivitas yang dilakukan dengan cara yang baik dan penuh kesadaran. Ihsan yang dimaksudkan dalam konteks ekonomi adalah menjadi konsumen yang bijak dan penuh dengan tanggung jawab.
Meskipun sebagai konsumen punya hak untuk bertanya serta melihat produk yang akan dibeli, namun tetap juga memiliki kewajiban untuk menghargai waktu dan usaha dari penjual.
Jika memang tidak ada niat untuk membeli, lebih baik tidak perlu memberikan perhatian yang lebih kepada penjual, lebih-lebih disaat toko sedang ramai. Cukuplah hanya melihat sekilas saja atau bertanya seperlunya saja. (*)
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |