TIMES SEMARANG, SEMARANG – Belakangan ini, masyarakat Indonesia heboh karena kabar naiknya tunjangan dan fasilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Jumlahnya sangat besar, padahal Presiden sedang berusaha keras menghemat anggaran negara. Tentu saja, ini bikin banyak orang merasa kecewa, bahkan marah.
Yang bikin tambah panas, kabar ini muncul saat rakyat sedang susah-susahnya menghadapi harga bahan pokok yang terus naik, biaya sekolah yang mahal, dan lapangan kerja yang makin sulit diperoleh. Rasanya tidak adil, elit politik hidup nyaman dan mewah, sementara rakyat diminta bersabar dan berjuang terus. Dimana letak keadilannya?
Karena ketidakpuasan inilah, banyak orang turun ke jalan melakukan demonstrasi besar-besaran. Awalnya damai, dengan spanduk dan teriakan aspirasi. Tapi suasana secepat kilat berubah menjadi rusuh. Kantor pemerintah dan rumah pejabat dirusak, fasilitas umum hancur, dan bentrokan dengan polisi tak terhindarkan
Masalah ini sebenarnya bukan hanya soal tunjangan untuk anggota DPR saja. Melainkan persoalan jurang sosial yang makin lebar dan dalam. Para elit hidup mewah dengan fasilitas negara, sementara rakyat harus berhemat demi kebutuhan sehari-hari. Ketidakseimbangan ini memicu kemarahan dan hilangnya kepercayaan pada janji-janji pejabat.
Sudut Pandang Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, ada prinsip keadilan (al adl) dan kemaslahatan umum yang harus jadi dasar pengelolaan uang negara. Para elit politik seharusnya jadi pelayan rakyat, bukan malah menuntut kenyamanan berlebihan untuk kebutuhan dirinya sendiri.
Al-Quran mengingatkan kita supaya tidak berlaku boros. Tapi kenyataannya, banyak pejabat dapat tunjangan besar, sementara rakyat makin miskin. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh dalam kehidupan yang sederhana, meski bisa saja hidup mewah. Ini jadi contoh bagi kita semua.
Jadi, kenaikan tunjangan untuk para elit politik jelas bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Ini bukan hanya persoalan etika, tapi tanggung jawab moral. Uang negara harus dipakai untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir oknum.
Dengan kondisi yang seperti itu, bagaimana solusinya? Penulis mencoba memberikan penjabaran. Pertama, tunjangan elit politik harus memiliki standar dan kewajaran sehingga bisa diukur.
Untuk gaji dan fasilitas yang diperolah seharusnya tidak lebih dari 2-3 kali rata-rata upah nasional. Dengan jumlah segitu, tentu sangat cukup dan layak untuk memberi harga kerja elit politik.
Kedua, adanya transparansi penuh dalam hal pemasukan dan pengeluaran elit politik harus bisa dipantau publik secara langsung lewat portal resmi. Jadi, rakyat bisa mengawasi dan mengoreksi jika ada pengeluaran yang tidak masuk akal.
Ketiga, bisa manfaatkan rumah dinas. Elit politik harus kembali lagi untuk bertempat tinggal di rumah dinas yang sudah disediakan, bukan malah dapat tunjangan perumahan besar-besaran. Ini tentunya akan bisa menghemat anggaran dan mengurangi kecemburuan sosial.
Keempat, menggunakan sisa anggaran untuk rakyat. Dana yang berhasil dihemat bisa dipakai untuk program sosial, beasiswa, subsidi kesehatan, bantuan untuk pekerja harian, dan penguatan UMKM. Ini sesuai prinsip zakat dan solidaritas dalam Islam.
Kelima, adanya pengawasan moral. Selain lembaga resmi seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengawasan juga harus dilakukan oleh masyarakat, ulama, dan organisasi sipil. Ini agar elit politik selalu ingat bahwa jabatan yang mereka emban merupakan amanah dari rakyat, bukan hak istimewa.
Demonstrasi yang berujung rusuh memang merugikan banyak pihak. Tapi di balik itu semua, ada pesan penting yang perlu dipahami, yaitu adanya krisis kepercayaan rakyat pada elit politik yang harus segera diperbaiki. Rakyat sudah lelah dengan janji kosong yang selalu diumbar ke publik.
Masyarakat butuh bukti nyata bahwa para pejabat serius bekerja untuk rakyat, bukan memperkaya diri sendiri. Transparansi anggaran dan pengalihan dana ke sektor sosial adalah langkah tepat untuk membangun kembali kepercayaan dari rakyat ke anggota elit politik.
Kalau aspirasi rakyat terus diabaikan begitu saja, jangan heran jika kemarahan itu akan terus meledak. Kini saatnya para elit politik berani mengambil langkah yang benar demi masa depan bangsa, bukan untuk kebutuhan perut peribadinya.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar di FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |