https://semarang.times.co.id/
Berita

Refleksi Harkitnas: Cermin Retak dari Majapahit ke Indonesia Kini

Selasa, 20 Mei 2025 - 07:03
Refleksi Harkitnas: Cermin Retak dari Majapahit ke Indonesia Kini Ir R. Agoes Soerjanto MT, Waketum GM FKPPI

TIMES SEMARANG, MALANG – Bulan Mei menjadi bulan istimewa bagi Indonesia. Di bulan ini ada hari-hari penting. Mulai Hari Pendidikan, Hari Kebangkitan Nasional, bahkan hari-hari penting terkait sejarah Reformasi Indonesia. Sebagai refleksi Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), berikut kami turunkan refleksi dari Waketum GM FKPPI Ir R. Agoes Soerjanto MT.

*

Majapahit tak runtuh karena kekurangan wilayah. Bukan pula karena kekeringan ide atau lemahnya tentara. 

Kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara itu runtuh karena retaknya kepercayaan di lingkar dalam. Karena istana tak bisa lagi membedakan mana kawan dan lawan. Karena kursi kekuasaan menjadi medan rebutan, bukan tempat pengabdian.

Sebut saja, dari pemberontakan Rangga Lawe hingga tumbangnya Majapahit oleh Girindrawardhana. Benang merahnya jelas: ambisi pribadi yang tumbuh tanpa pengendalian. 

Para bangsawan tak sabar menunggu giliran. Mereka ingin berkuasa sekarang, dengan cara apa pun. Bahkan jika itu berarti melawan darahnya sendiri.

Apa yang kita lihat di Indonesia hari ini, dalam banyak hal, terasa seperti bab baru dari naskah lama Majapahit. Ketika para elite berebut pengaruh, saling jegal dalam senyap, dan merancang taktik politik bukan untuk rakyat, tetapi demi menjaga warisan kekuasaan.

Kita lihat bagaimana partai-partai menjadi kendaraan personal, bukan lagi rumah ideologi. Bagaimana kader yang kritis tersingkir oleh yang manut. Dan bagaimana yang memiliki “darah politik”—putra, menantu, cucu dari tokoh besar—mendapat jalan tol menuju puncak kekuasaan.

Majapahit mengenalnya sebagai Bhre, Bhra, dan anak cucu raja yang terus mewarisi tahta meski belum tentu layak. Indonesia hari ini menyebutnya politik dinasti.

Lihat pula bagaimana suara-suara rakyat seringkali terpinggirkan dalam percakapan politik nasional. Ketika satu koalisi begitu dominan, dan oposisi mengecil seperti lilin kehabisan sumbu. Ketika kritik dibungkam dengan narasi "tidak cinta NKRI", atau dialihkan pada perang wacana yang menguras energi. Ini bukan fenomena baru. 

Di masa Majapahit, pemberontakan Nambi juga bermula dari tuduhan sepihak yang membuatnya merasa tak ada ruang untuk bertahan. Maka ia memilih melawan, meski tahu risikonya.

Hari ini, kita pun menyaksikan bagaimana lembaga-lembaga demokrasi diuji. Beberapa pengamat menyebut kita tengah menghadapi “pelemahan sistemik”, bukan dengan cara brutal, tapi perlahan dan halus. Seperti racun yang diteteskan dalam teh sore hari. Tak langsung mematikan, tapi membuat lunglai.

Dan seperti Majapahit yang pernah diwarnai perang saudara—Perang Paregreg—kita pun pernah melihat polarisasi tajam akibat pemilu. Rakyat diadu dalam kubu-kubu, bukan untuk memperkaya pilihan, melainkan memecah fokus.

Setelah kontestasi usai, yang di atas bersatu kembali. Tapi rakyat di bawah tetap saling curiga. Seolah elite hanya sedang memainkan sandiwara dengan penonton yang tak sadar sudah membayar terlalu mahal: keharmonisan sosial.

Yang paling menyedihkan dari sejarah Majapahit bukanlah kejatuhannya, melainkan pelajaran yang tak diwariskan. Bahwa kekuasaan tanpa integritas akan menghancurkan diri sendiri. Bahwa memperluas wilayah atau mempercantik angka-angka pembangunan tidak akan bertahan jika keadilan dan kepercayaan runtuh di dalam.

Indonesia bukan Majapahit, benar. Tapi manusia yang mengisinya tetap manusia. Dengan sifat, nafsu, dan kelemahan yang sama. 

Bedanya, kini ada konstitusi. Ada demokrasi. Ada pemilu. Tapi jika nilai-nilainya dikhianati, maka konstitusi pun bisa menjadi kosmetik.

Maka pertanyaannya bukan lagi; “Apakah Indonesia akan runtuh seperti Majapahit?” Namun, “Apakah kita mau belajar dari Majapahit sebelum terlambat?”

Kita bisa memilih jadi Gajah Mada—yang bukan hanya mengurus ekspansi, tapi juga menjaga agar bara di dalam istana tak membakar seluruh kerajaan. Atau kita bisa menjadi para bangsawan itu: yang merasa lebih layak, lebih berhak, dan akhirnya menjerumuskan seluruh negeri demi satu kursi kekuasaan.

Dan rakyat? Rakyat selalu menunggu pemimpin yang tidak hanya kuat, tapi juga arif. Yang mengerti bahwa kepercayaan lebih mahal daripada kemenangan. Bahwa sejarah bukan untuk dibanggakan, tapi dipelajari. Agar tak mengulang luka yang sama dengan nama yang berbeda.

Sejarah Majapahit adalah peringatan. Dan Indonesia hari ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk menulis narasi baru yang tak lagi berakhir dengan retakan dari dalam.

Karena negeri ini terlalu besar untuk dijatuhkan oleh hal-hal kecil seperti ego dan iri hati. Tapi justru, seperti Majapahit, sejarah membuktikan: yang kecil itulah yang paling berbahaya jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali. 

Karenanya, jangan pernah terpikir untuk lelah mencintai NKRI yang indah ini sampai kapan pun. Aamiin. (*)

* Oleh Ir R. Agoes Soerjanto MT, Waketum GM FKPPI 

Pewarta : xxx
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Semarang just now

Welcome to TIMES Semarang

TIMES Semarang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.